Translate

Wednesday, January 4, 2017

Jogjakarta - Part II


Malam pertama petualangan kami di Jogja yang juga merupakan
petualangan kami bersama untuk pertama kalinya
(Malioboro, 5 Oktober 2016)


Rabu, 5 Oktober 2016

Pagi itu alarm handphone berbunyi sekira pukul 5 pagi. Meskipun udara sangat dingin menusuk dan mata masih enggan terbuka, otak yang tidak mau berkompromi memaksa saya untuk melempar selimut dan duduk di tepi tempat tidur. Rencana bepergian dan tiket yang telah dibeli sebetulnya menjadi alasan utama untuk terjaga pagi ini. Apalagi, saya termasuk orang yang agak lambat dalam hal persiapan dan selalu ingin serba sempurna dan serba lengkap. Sebelum bergerak ke kamar mandi, sekali lagi saya membaca daftar perlengkapan yang ingin saya bawa dan memastikan saya sudah memasukkan semuanya ke dalam backpack.

Pukul 6.50, saya tiba di stasiun kereta api Bandung. Setelah berbasa-basi selamat tinggal dengan suami yang mengantar saya sampai ke gerbang stasiun, saya berlari memasuki stasiun di mana adik saya yang akan bersama-sama melancong sudah menunggu. Komentar pertama adik saya saat melihat saya datang dengan satu backpack besar (backpack yang biasa saya pakai untuk naik gunung) dan satu tas selempang adalah : “Kita cuma akan pergi selama setengah minggu, kan?” Barang bawaan saya sudah cukup menyebabkan dia kehilangan kepercayaan diri dan berfikiran bahwa mungkin dia yang kurang persiapan. Tapi, yah, beginilah. Saya tergolong orang yang agak ribet setiap kali akan berlibur. Barang yang saya bawa cenderung lebih banyak dari yang seharusnya. Saya hanya bisa tersenyum geli mendengar komentarnya yang sedikit banyak sudah bisa saya prediksikan. Lalu, sebelum menaiki kereta api, saya menyempatkan diri untuk membeli sarapan untuk dimakan di dalam kereta dari salah satu restoran cepat saji yang ada di dalam stasiun. Dan akhirnya, pukul 7.20 kereta pun bergerak perlahan meninggalkan kota kelahiran kami.

Masih saya sempatkan untuk
mengerjakan pekerjaan kantor
 di dalam kereta
yang membawa kami menuju Jogja

Kami, saya dan adik saya, berencana untuk mengunjungi Jogjakarta, suatu kota dan sekaligus provinsi di pulau Jawa. Sebetulnya, ini kali kedua saya menggunakan kereta api menuju Jogjakarta. Bedanya, kali pertama, saya bepergian bersama suami menggunakan kereta malam sementara sekarang, saya dan adik saya memilih kereta siang. Oleh karena itu juga, ini pertama kalinya saya bisa melihat pemandangan di bagian timur pulau Jawa yang terlewati rute kereta  Secara umum, perjalanan kereta di siang hari cukup menyenangkan meskipun kami “hanya” menumpangi kereta kelas bisnis namun secara kualitas, sudahlah mencukupi standar “bagus” kami. Bersih, dingin, luas dan nyaman.

Kereta pun tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta pukul 3.30 sore. Cuaca cerah dan udara panas menyambut kedatangan kami. Kami memutuskan untuk berjalan kaki sampai kami lelah menuju daerah Prawirotaman, tempat di mana banyak sekali tersedia hotel-hotel murah. Menurut informasi yang kami dapat dari internet, kami memerlukan waktu sekitar satu jam dengan berjalan kaki untuk sampai di Prawirotaman. Kami pun mulai berjalan kaki melalui jalan Malioboro yang terkenal itu. Tapi ternyata, belum setengah perjalanan kami tempuh, saat kami melihat halte bis pertama di jalan Malioboro, kami lantas memutuskan untuk menaiki TransJogja. Setelah membayar Rp. 7.000 untuk dua tiket, kami harus menunggu sekitar seperempat jam sebelum akhirnya, bis no. 2A yang akan membawa kami ke Prawirotaman tiba. Perjalanan dengan menggunakan bis sudah jelas mempersingkat waktu, apalagi, rute Malioboro - Kolonel Sugiyono pun bebas macet. Alhasil, 15 menit kemudian kami sudah sampai di jalan Kolonel Sugiyono. Dari halte bis ini, kami masih harus berjalan kaki sekitar 15 menit untuk menuju ke Jalan Raya Parangtritis. Di jalan inilah terletak daerah Prawirotaman di mana kami mencari hotel “Metro” yang menjadi tujuan tempat penginapan kami. Dalam perjalanan menuju Prawirotaman, kami melihat mobil penjual “tahu bulat” parkir dan sebagai penggila tahu bulat, saya pun berhenti untuk jajan. Lucunya, si mas penjual tahu bulat ini (yang berumur kira-kira 20 taun), luar biasa cerewet. Selagi kami menunggu tahu selesai digoreng, dia tidak henti-hentinya mengoceh tapi kami cukup senang dan menganggap ini adalah keramahan warga Jogja dalam menyambut turis meskipun kami hanyalah turis domestik. Di Bandung, para pedagang kaki lima tidaklah seramah ini. Dan sejak itu, saya dan adik saya “berteman” dengan si mas penjual tahu bulat yang kemudian selalu menyapa setiap kami melewati mobilnya.

Metro Guest House
Jl. Prawirotaman II No. 7
Dengan berbekal tahu bulat seharga Rp. 5.000, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel Metro yang sebetulnya tidak jauh dari tempat mobil penjual tahu bulat parkir. Hotel Metro ini bukanlah hotel berbintang sekian tapi sekitar 5 tahun yang lalu, saya dan suami menginap di sini dan saya sangat menyukai suasana dan konsep hotel yang lebih mengutamakan suasana rumahan daripada suasana hotel. Oleh karena itulah, saya menyarankan untuk menginap di tempat ini. Selain itu, harga yang diberikan pun cukup murah, bisa kami jangkau dengan budget yang kami punya. Setelah mendapatkan potongan harga, kami hanya harus membayar Rp. 225.000 untuk setiap malamnya. 

Kami tiba di hotel sekitar pukul 4.45 dan sesampainya di kamar hotel, kami pun langsung menyusun rencana. Keinginan pertama adalah mengunjungi Taman Monjali atau disebut juga Taman Pelangi.  Tetapi setelah menimbang-nimbang rute bis dan waktu, kami kuatir tidak memiliki waktu yang cukup untuk berangkat dan kembali ke hotel dengan menggunakan TransJogja karena ternyata lokasi Taman Monjali ini cukup jauh dari hotel tempat kami menginap dan TransJogja hanya beroperasi sampai pukul 9 malam. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk mengunjungi Malioboro malam itu dan saya pun kemudian membuat janji untuk bertemu dengan seorang kawan. Awalnya, kawan saya ini menawari kami untuk mengunjungi salah satu cafe di Jogja yang menyediakan hiburan live music sehubungan dengan ada temannya yang berulang tahun. Kami pun mengiyakan dan beliau berjanji untuk datang menjemput ke hotel sehabis waktu maghrib. Pukul 6.30, kawan saya ini sampai di hotel dan karena acara ulang tahun temannya itu baru akan dimulai sekitar pukul 9, kami memutuskan untuk mencari angkringan di sekitar Prawirotaman. Saya dan adik saya kebetulan ngidam berat makan nasi kucing asli Jogja. Tidak lama setelah meninggalkan hotel, kami melewati pedagang bakmi jawa, dan saya sempat ragu karena muncul keinginan untuk membeli setelah mencium aroma wangi bakmi yang sedang dimasak tapi saya membatalkan keinginan dan melanjutkan berjalan. Sebagai akibatnya, kami pun jadi tau bahwa garasi tempat bakmi jawa tersebut dijual adalah tempat penyewaan mobil dan mobil yang dikendarai Nicholas Saputra di film AADC 2 ternyata disewa dari tempat itu. 

Ruang Makan Metro Guest House
Angkringan -
Nasi kucing merupakan menu
 yang paling populer

Setelah berjalan kaki sekitar 5 menit, kami menemukan angkringan di pinggir jalan. Menu yang saya beli adalah nasi kucing sambel teri, dua buah gorengan dan segelas wedang jahe. Harga satu bungkus nasi kucing rata-rata Rp. 3.000. Isinya bisa bermacam-macam meskipun satu bungkus hanya satu pilihan, misalkan sambel teri, sambel tempe atau ikan tongkol.

Perjalanan malam pertama, kami lanjutkan dengan ditemani kawan saya sebagai pemandu wisata. Kami berjalan kaki menuju alun-alun selatan. Perjalanan kaki ini memakan waktu sekitar setengah jam tapi tiba-tiba di tengah perjalanan, masih dekat Prawirotaman, kami melihat restoran “Warung Super Sambal”. Saya dan adik saya girang luar biasa karena restoran ini adalah restoran favorit kami di Bandung yang sekarang sudah menghilang entah ke mana. Saya sempat terpikir untuk berhenti dan makan (lagi) di warung SS ini tapi akhirnya selamat dari ide tersebut dan memutuskan untuk menunda rencana sampai keesokan hari. Setiba di alun-alun selatan, kami, terutama saya, terpesona melihat pemandangan yang tidak pernah saya lihat di Bandung. Malam itu, alun-alun selatan tampak ramai pengunjung, hampir seperti pasar malam. Beberapa pedagang mangkal di sekitaran alun-alun. Yang membuat saya terpesona sebetulnya adalah tersedianya odong-odong (sepeda tandem) berbentuk mobil yang dihiasi lampu berwarna-warni. Di alun-alun sendiri, keadaannya agak gelap karena tidak ada lampu jalan yang menerangi dan penerangan jalan didapat dari lampu-lampu yang dipijarkan oleh odong-odong yang jumlahnya puluhan. Odong-odong bisa disewa untuk mengitari alun-alun satu putaran seharga Rp. 25.000. Sebetulnya, untuk menjalankan odong-odong ini, kita harus mengayuh pedal sehingga menaiki odong-odong bisa juga dikategorikan olah raga karena selain itu, jarak tempuh keliling alun-alun pun lumayan panjang. Hal lain yang terkenal dari alun-alun selatan ini adalah pohon beringin raksasa, yang mungkin terbesar di Jogja, yang ditanam di tengah alun-alun. Banyak sekali orang yang berpose di sekitar pohon ini dan konon, jikalau kita bisa berjalan lurus dengan mata terpejam ke arah pohon beringin ini, keinginan kita akan terkabul. Tapi di Indonesia, pohon beringin juga erat kaitannya dengan hal-hal mistis, semisal setiap pohon beringin memiliki satu “penunggu”. Dengan alasan ini juga saya memutuskan untuk tidak berfoto di sekitaran pohon tersebut.
Odong-odong berlampu yang bisa dijadikan wahana pilihan
di Alun-alun Selatan
Titik nol kilometer

Setelah menghabiskan beberapa menit di alun-alun selatan, kami kembali berjalan kaki sekitar 15 menit sampai ke Malioboro yang juga dikenal dengan titik nol kilometer. Suasana Malioboro ramai sekali malam itu. Berbagai seniman muncul dengan mengenakan kostum yang bermacam-macam. Kami tidak berjalan sampai pasar Malioboro, tetapi kami berhenti di sekitar taman pintar dan duduk-duduk di salah satu bangku yang tersedia. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 9.15, saya dan adik saya akhirnya memutuskan untuk pulang. Rencana mengunjungi salah satu cafe pun terpaksa kami batalkan. Dengan berjalan kaki melalui rute yang berbeda, saya dan adik saya pun kembali ke hotel sementara kawan saya melanjutkan rencananya semula, yaitu ikut merayakan ulang tahun temannya. Saya dan adik saya sampai kembali di hotel sekitar pukul 9.45. Berjalan kaki sejauh itu, meskipun di malam hari, tetap saja menimbulkan rasa gerah. Segera setelah mandi membersihkan keringat, kami pun tertidur kelelahan. 

Catatan tambahan : 

Perjalanan pulang ke hotel dari Malioboro malam itu penuh kejutan. Di tengah-tengah perjalanan, kami melewati beberapa pertokoan yang menjual pakaian. Lalu tiba-tiba, dari salah satu toko pakaian di seberang jalan yang sepi, kami mendengar teriakan dan mata kami menangkap sesosok yang terjatuh. Kami pun terkejut namun setelah kami menyeberang jalan, barulah kami menyadari bahwa yang jatuh tadi hanya sebuah manekin. Kami pun lalu tertawa lega. Belum pulih kami dari rasa terkejut, dari sudut tikungan jalan, kami kembali dikejutkan dengan suara ringkikan kuda yang cukup keras tapi tidak kami lihat. Kami menjerit pelan saking kagetnya dan untungnya, beberapa detik kemudian kami melihat andong yang muncul dari tikungan. Sambil berhenti sejenak, kami menertawai kebodohan kami sekaligus menenangkan jantung yang sempat “berhenti” karena ketakukan. Tapi kejutan pun tidak berhenti sampai di sini. Baru beberapa langkah kami berjalan, kami melihat sederatan toko yang menjual peti mati yang masih terpajang di pinggir jalan. Kami mempercepat langkah kaki dan saya khususnya hampir berlari untuk menghindari perasaan aneh yang mulai muncul setelah melihat peti-peti mati yang sebetulnya jelas-jelas masih kosong itu. Terakhir, saat berbelok di jalan Prawirotaman, kami melihat bendera putih terpasang, yang menandakan ada salah seorang warga yang meninggal dunia dan kami pun harus berjalan melewati rumah duka. Bisa dibayangkan, betapa senangnya kami saat sampai kembali di hotel dengan selamat dan malam pertama kami di Jogja diakhiri dengan tarikan nafas penuh kelegaan.

Not all who wander are lost

Pictures by : Ica Meinanda and Okto N.S



2 comments: