Translate

Showing posts with label Pictures. Show all posts
Showing posts with label Pictures. Show all posts

Sunday, May 10, 2020

To forgive is not to forget


Kini kuhanya ingin lupakan semua, mengenangmu menyesakkan jiwa.
Kan kuhapus air mata hingga kudapat sembuhkan luka
(Luka Lama - Coklat)


                                                                   
Masih tak dapat kupahami 
Rasa bencimu padaku
Masih terpatri dalam ingatanku
Perkataan kasarmu padaku
Sejuta maaf t'lah kulayangkan padamu
Tak satupun mampu menggoyahkan egomu
Tapi tak apalah, selalu ada hikmah di balik segala masalah



Seiring menggelapnya langit di atas kepalaku
Kan kupastikan 
Bahagiaku bukanlah kamu...




"Kabut Kota" (A novel by Ichsan Saif)





Friday, June 30, 2017

Kaulah Yang Terpilih (Sunrise)

Someone who really loves you sees what a mess you can be, how moody you can get, how hard you are to handle,
but still wants you (Anonymous)


Di persimpangan jalan ini pernah ku dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Rindukah aku pada malam yang kelam dan dingin? Ataukah pada cerah dan hangatnya pagi? Rasa tak ingin menyakiti mendera hati hingga sekian lama kebimbangan menyiksa nurani. Namun pada akhirnya kutemukan jawaban yang kucari. Kaulah yang terbaik, yang terpilih, yang telah pasti. Yang senantiasa setia menanti.

Sinarmu lah yang kerap kulihat kala gelap menghantui. Kau lah yang selalu berpendar saat kucari cahaya. Kau lah yang senantiasa memelukku kala gamang menghampiri. Kau lah yang kurindu saat kusendiri. Kau, yang kuberi nama --kesempurnaan, dibalik ketidaksempurnaanmu. Sebab kutau, akupun tidaklah sempurna. Tak ada yang sempurna.

Terima kasih telah menyayangiku dengan segala kekurangan dan kelebihanku...



Saturday, May 20, 2017

Waktu Tak Bisa Berbalik

Still looking at the same path, yet realizing there have been so many changes...

     Menyusuri jalan setapak
     Napak tilas semua memori
     Menelusuri angan-angan dan pengandaian
     Yang pernah terlewati

     Di ujung jalan tampak sebuah bayangan
     Yang terlepas dari genggaman
     Seandainya waktu bisa berbalik
     Penyesalan tak akan pernah ada

Tuesday, May 16, 2017

Pagi Menanti

... Selama mata terbuka sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun aku mampu 'tuk mengenangmu
Darimu kutemukan hidupku. Bagiku kaulah cinta sejati ...
(Kenangan Terindah - Samson)



     Di suatu pagi kutatap dia tanpa kedip
     Tak pernah kulihat dia seindah itu
     Dia pun lalu menjawab pandanganku
     Membuatku semakin tak ingin berpaling
   
     Seketika aku tau dengan pasti
     Senyumannya akan senantiasa kurindukan dan kucari
     Tunggulah aku, kan kukunjungi dirimu lagi




Thursday, January 5, 2017

Jogjakarta - Part II (The English Version)

The first night of our first adventure together
(Malioboro, October 5, 2016)

Wednesday, October 5, 2016

My alarm went off at about 5 am. It was a really cold morning and, though my eyes still felt pretty heavy, my brain told me to wake up and get up. I sat down on my bed for a while before starting to get ready. Two train tickets that had been bought and a plan that had been discussed for months were the main reasons why I had to get up. Besides, I’m rather a perfectionist. It always takes me a long time to prepare whenever I travel. I have to check my list over and over again to make sure that everything that I think will be needed has been packed.


I arrived at the Bandung train station at 6:50. My husband took me there and dropped me off at the gate. After saying good bye, I ran inside. My sister, whom I traveled with, had been waiting for me. She was a little confused when she saw me coming with a big backpack and a big purse. She was somewhat concerned and thought that she may have forgotten some stuff, and I was just smiling at her. But, of course she knew me really well and when she realised that she was traveling with me, she became more relaxed. She didn’t forget anything. It was just me who tended to overpack. Then, before we got on the train, I stopped by one of the fast food restaurants in the station to get some breakfast to take away, and finally the train left our home town on time, at 7:20.

Working on students' writing
on the train that was taking us to Jogja
My sister and I were traveling to Jogjakarta, a city and a province on the island of Java. Actually, this wasn’t my first time taking the train to Jogja. In 2012, I went with my husband, but at that time, we took the night train, so this time I had the opportunity to enjoy the view of the eastern part of Java as the train was moving. Generally, we were pretty happy with the train. Although we only traveled in a business-class compartment, it fulfilled our standard of comfort as the compartment was clean, wide and air conditioned.

We arrived at Stasiun Tugu, Jogjakarta, at around 3:30 pm. The clear sky and hot weather welcomed us; therefore, we decided to walk to Prawirotaman, an area where a lot of cheap hotels are available. Based on the information that we got from the internet, it would take us about an hour to walk there from the train station. So there we were, walking through the famous Malioboro Street to go to Prawirotaman. However, it was so hot and my stuff was so heavy that we didn’t last long. It was I who gave up and when we approached a bus stop in Malioboro, we changed our minds. We bought two bus tickets for 25 cents each and waited for about 15 minutes for the TransJogja 2A that would take us to Kolonel Sugiyono Street where we would get off. The traffic was really nice and the bus trip only lasted 15 minutes. After getting off the bus, we still had to walk for about 15 minutes to Jalan Raya Parangtritis, the street where Prawirotaman is located. Not far from our destination, we stopped to get some snacks from a food stall on the side of the street. The boy who sold the snacks was very friendly, if not talkative, and he didn’t stop talking while cooking our order. He was also really funny. This was a pretty rare occasion for us since people in Bandung are not as friendly, especially towards domestic tourists. From then on, we became friends. We would walk past his stall every time we went out and he would greet us and say hi whenever he saw us.
Metro Guest House
Prawirotaman II Street No. 7
After paying about 40 cents for our snacks, we continued walking to find a hotel. We actually already knew where we wanted to stay. When I went with my husband five years ago, we stayed at Metro Guest House. I was amazed with the whole concept and the ambience of this place. It is not a starred hotel but it is mostly focused on making its guests feel at home. Inside, there is also a garden which is surrounded by medium-sized hotel rooms. I really liked this hotel, so my sister promised to check it out, and I was really glad when she was okay with it and agreed to stay there. We paid around US$15 for a night and for us, that was a good price—within our budget.

It was already 4:45 pm when we entered the hotel room and as soon as we put down our bags, we started making plans. Initially, we wanted to go to Monjali Park, also known as Rainbow Park. However, to get to this place is time consuming since it is pretty far from the hotel and the TransJogja only operates until 9 pm. We didn’t want to get there too late but only stayed for a short time, so we changed the plan. We decided to just stick around the hotel and go back to Malioboro, not for shopping but for enjoying the nightlife there. I had also been in contact with one of my friends who lived in Jogja, so we agreed to meet up that night. He said he would take us to a cafe which offered live music. It also happened to be the night when one of his friends was celebrating his birthday. The party didn’t start until 9 pm but my friend came early—at 6:30 pm—and because we were already hungry, we went out to find angkringan (nasi kucing), a special traditional dish from Jogja that we had craved for a long time. 

The Metro Guest House Dining Room

Wednesday, January 4, 2017

Jogjakarta - Part II


Malam pertama petualangan kami di Jogja yang juga merupakan
petualangan kami bersama untuk pertama kalinya
(Malioboro, 5 Oktober 2016)


Rabu, 5 Oktober 2016

Pagi itu alarm handphone berbunyi sekira pukul 5 pagi. Meskipun udara sangat dingin menusuk dan mata masih enggan terbuka, otak yang tidak mau berkompromi memaksa saya untuk melempar selimut dan duduk di tepi tempat tidur. Rencana bepergian dan tiket yang telah dibeli sebetulnya menjadi alasan utama untuk terjaga pagi ini. Apalagi, saya termasuk orang yang agak lambat dalam hal persiapan dan selalu ingin serba sempurna dan serba lengkap. Sebelum bergerak ke kamar mandi, sekali lagi saya membaca daftar perlengkapan yang ingin saya bawa dan memastikan saya sudah memasukkan semuanya ke dalam backpack.

Pukul 6.50, saya tiba di stasiun kereta api Bandung. Setelah berbasa-basi selamat tinggal dengan suami yang mengantar saya sampai ke gerbang stasiun, saya berlari memasuki stasiun di mana adik saya yang akan bersama-sama melancong sudah menunggu. Komentar pertama adik saya saat melihat saya datang dengan satu backpack besar (backpack yang biasa saya pakai untuk naik gunung) dan satu tas selempang adalah : “Kita cuma akan pergi selama setengah minggu, kan?” Barang bawaan saya sudah cukup menyebabkan dia kehilangan kepercayaan diri dan berfikiran bahwa mungkin dia yang kurang persiapan. Tapi, yah, beginilah. Saya tergolong orang yang agak ribet setiap kali akan berlibur. Barang yang saya bawa cenderung lebih banyak dari yang seharusnya. Saya hanya bisa tersenyum geli mendengar komentarnya yang sedikit banyak sudah bisa saya prediksikan. Lalu, sebelum menaiki kereta api, saya menyempatkan diri untuk membeli sarapan untuk dimakan di dalam kereta dari salah satu restoran cepat saji yang ada di dalam stasiun. Dan akhirnya, pukul 7.20 kereta pun bergerak perlahan meninggalkan kota kelahiran kami.

Masih saya sempatkan untuk
mengerjakan pekerjaan kantor
 di dalam kereta
yang membawa kami menuju Jogja

Kami, saya dan adik saya, berencana untuk mengunjungi Jogjakarta, suatu kota dan sekaligus provinsi di pulau Jawa. Sebetulnya, ini kali kedua saya menggunakan kereta api menuju Jogjakarta. Bedanya, kali pertama, saya bepergian bersama suami menggunakan kereta malam sementara sekarang, saya dan adik saya memilih kereta siang. Oleh karena itu juga, ini pertama kalinya saya bisa melihat pemandangan di bagian timur pulau Jawa yang terlewati rute kereta  Secara umum, perjalanan kereta di siang hari cukup menyenangkan meskipun kami “hanya” menumpangi kereta kelas bisnis namun secara kualitas, sudahlah mencukupi standar “bagus” kami. Bersih, dingin, luas dan nyaman.

Kereta pun tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta pukul 3.30 sore. Cuaca cerah dan udara panas menyambut kedatangan kami. Kami memutuskan untuk berjalan kaki sampai kami lelah menuju daerah Prawirotaman, tempat di mana banyak sekali tersedia hotel-hotel murah. Menurut informasi yang kami dapat dari internet, kami memerlukan waktu sekitar satu jam dengan berjalan kaki untuk sampai di Prawirotaman. Kami pun mulai berjalan kaki melalui jalan Malioboro yang terkenal itu. Tapi ternyata, belum setengah perjalanan kami tempuh, saat kami melihat halte bis pertama di jalan Malioboro, kami lantas memutuskan untuk menaiki TransJogja. Setelah membayar Rp. 7.000 untuk dua tiket, kami harus menunggu sekitar seperempat jam sebelum akhirnya, bis no. 2A yang akan membawa kami ke Prawirotaman tiba. Perjalanan dengan menggunakan bis sudah jelas mempersingkat waktu, apalagi, rute Malioboro - Kolonel Sugiyono pun bebas macet. Alhasil, 15 menit kemudian kami sudah sampai di jalan Kolonel Sugiyono. Dari halte bis ini, kami masih harus berjalan kaki sekitar 15 menit untuk menuju ke Jalan Raya Parangtritis. Di jalan inilah terletak daerah Prawirotaman di mana kami mencari hotel “Metro” yang menjadi tujuan tempat penginapan kami. Dalam perjalanan menuju Prawirotaman, kami melihat mobil penjual “tahu bulat” parkir dan sebagai penggila tahu bulat, saya pun berhenti untuk jajan. Lucunya, si mas penjual tahu bulat ini (yang berumur kira-kira 20 taun), luar biasa cerewet. Selagi kami menunggu tahu selesai digoreng, dia tidak henti-hentinya mengoceh tapi kami cukup senang dan menganggap ini adalah keramahan warga Jogja dalam menyambut turis meskipun kami hanyalah turis domestik. Di Bandung, para pedagang kaki lima tidaklah seramah ini. Dan sejak itu, saya dan adik saya “berteman” dengan si mas penjual tahu bulat yang kemudian selalu menyapa setiap kami melewati mobilnya.

Metro Guest House
Jl. Prawirotaman II No. 7
Dengan berbekal tahu bulat seharga Rp. 5.000, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel Metro yang sebetulnya tidak jauh dari tempat mobil penjual tahu bulat parkir. Hotel Metro ini bukanlah hotel berbintang sekian tapi sekitar 5 tahun yang lalu, saya dan suami menginap di sini dan saya sangat menyukai suasana dan konsep hotel yang lebih mengutamakan suasana rumahan daripada suasana hotel. Oleh karena itulah, saya menyarankan untuk menginap di tempat ini. Selain itu, harga yang diberikan pun cukup murah, bisa kami jangkau dengan budget yang kami punya. Setelah mendapatkan potongan harga, kami hanya harus membayar Rp. 225.000 untuk setiap malamnya. 

Kami tiba di hotel sekitar pukul 4.45 dan sesampainya di kamar hotel, kami pun langsung menyusun rencana. Keinginan pertama adalah mengunjungi Taman Monjali atau disebut juga Taman Pelangi.  Tetapi setelah menimbang-nimbang rute bis dan waktu, kami kuatir tidak memiliki waktu yang cukup untuk berangkat dan kembali ke hotel dengan menggunakan TransJogja karena ternyata lokasi Taman Monjali ini cukup jauh dari hotel tempat kami menginap dan TransJogja hanya beroperasi sampai pukul 9 malam. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk mengunjungi Malioboro malam itu dan saya pun kemudian membuat janji untuk bertemu dengan seorang kawan. Awalnya, kawan saya ini menawari kami untuk mengunjungi salah satu cafe di Jogja yang menyediakan hiburan live music sehubungan dengan ada temannya yang berulang tahun. Kami pun mengiyakan dan beliau berjanji untuk datang menjemput ke hotel sehabis waktu maghrib. Pukul 6.30, kawan saya ini sampai di hotel dan karena acara ulang tahun temannya itu baru akan dimulai sekitar pukul 9, kami memutuskan untuk mencari angkringan di sekitar Prawirotaman. Saya dan adik saya kebetulan ngidam berat makan nasi kucing asli Jogja. Tidak lama setelah meninggalkan hotel, kami melewati pedagang bakmi jawa, dan saya sempat ragu karena muncul keinginan untuk membeli setelah mencium aroma wangi bakmi yang sedang dimasak tapi saya membatalkan keinginan dan melanjutkan berjalan. Sebagai akibatnya, kami pun jadi tau bahwa garasi tempat bakmi jawa tersebut dijual adalah tempat penyewaan mobil dan mobil yang dikendarai Nicholas Saputra di film AADC 2 ternyata disewa dari tempat itu. 

Ruang Makan Metro Guest House

Friday, November 25, 2016

Tegar Bagai Sang Gunung


Malam-malamku bagai malam seribu bintang
Yang terbentang di angkasa bila kau di sini
'Tuk sekedar menemani 'tuk melintasi wangi
Yang s'lalu tersaji di satu sisi
Cintaku tak harus miliki dirimu meski perih mengiris...
(Roman Picisan - Dewa)



        Hidupku tidaklah sempurna
        Tanpa kehadiranmu di hadapanku, di sampingku
        Tapi aku harus tetap tegar
        Berdiri tegak bagai sang gunung
        Meski hanya sendiri
        Dinaungi gelap dan sepi


Picture by : Jim Holmboe

Wednesday, November 16, 2016

Angan Dan Mimpiku



Saat kutapaki jalan itu
Seakan kusadari ada dirimu
Berjalan di sampingku

Saat kutatap langit biru
Kubayangkan angan dan mimpiku
Untuk selalu bertemu denganmu

Saat kudengar sebuah lagu
Kuinginkan nada dan irama musikmu
Kau dendangkan hanya untukku

Saat kumasuki tidur malamku
Kumimpikan kau dan aku menyatu



"Maka izinkanlah aku mencintaimu atau biarkan aku sekedar sayang padamu
Maka maafkan jika ku mencintaimu atau biarkan ku berharap kau sayang padaku..."

Kala Cinta Menggoda - Chrisye

Pictures by : Jim Holmboe

Monday, November 7, 2016

Jogjakarta - Part I

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja

I think I’ve fallen in love with this city. I’ve been here at least four times, and each time I went with a different person or group, and these have also given me different impressions. The last two times I visited Jogja were, however, the most impressive ones.

Jogjakarta, or Jogja, often spelled Yogyakarta, is a city and the capital of the Yogyakarta Special Region in Java, Indonesia. Instead of being led by a governor, Jogja is ruled by a sultan and this position is passed down from one generation to the next. 

Historically, Jogja was once the centre of the ancient Mataram Kingdom, one of Indonesia’s wealthiest and most advanced Kingdoms, existing over 1000 years ago—around the 7th or 8th century. During this era, the famous Candi Borobudur, one of the world’s biggest Buddhist temples, was constructed. There are also other temples such as Candi Prambanan, Candi Ratu Boko and Candi Ijo, which have their own history. These temples are still well maintained and, therefore, have become popular tourist attractions. However, for some still mysterious reasons, the Mataram Kingdom was relocated to the East Java Province. Nonetheless, around 600 years later, the Islamic Mataram Kingdom was in power on Java and once more built its palaces in Jogja, in Kotagede to be exact. Now, Kotagede is not only famous for its silver handcrafts, but it also offers other touristic destinations such as Jogja’s oldest mosque, called Mesjid Gedhe (also known as Mesjid Agung Mataram), the kings’ cemetery - in the same complex as the mosque, and the sultans’ cemetery.  Mesjid Gedhe was first built in 1640, and then in 1856 and 1926 it was renovated.


Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri di telan deru kotamu

Monday, October 31, 2016

Cahaya di Malam Temaram

Hidupku tanpa cintamu bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu bagai panas tanpa hujan
Jiwaku berbisik lirih ku harus milikimu
Dewa - Risalah Hati
https://www.youtube.com/watch?v=J6i53rCB0y8
Di tengah angin yang berdesir menggeser dedaunan
Seketika hati tergetar menjadi gelisah
Sekilas terlihat sesosok nan indah
Yang pernah nyata, namun kini telah samar dan kasat mata

Dalam kelam malam tanpa cahaya bintang
Tiada lelah mencari dan memohon pada dewi cinta
Tunjukanlah di mana sang belahan jiwa
Yang selalu dirindukan dalam setiap jengkal langkah

Tolong, bawalah dia pulang
Dia yang telah sekian lama menghilang
Hati ini tak akan pernah tenang
Terlalu banyak keindahan yang akan selalu terkenang


Many thanks for the inspirations to Ica Meinanda, Andy Dwi Gunawan, and Okto Noto Susanto.
         

Tuesday, October 25, 2016

One Night Full of Lights

One Night in Jogja


Walking at night with her empty mind
Ignoring all the laughter she hears around
Surrounded by many things but she sees nothing
Her heart is filled with an empty feeling

Loneliness, please leave me alone, she mourned a whisper
I want no one but my lover
Whose appearance has been long forgotten
But whose presence is always imagined

In her often long long night
She keeps looking for her knight
Wandering in the dark and letting the lights be her guide
'Till she can reach her love she's always missed

Picture by : Ica Meinanda

Thursday, September 15, 2016

The Pilot - A Synopsis; The English Version

Having to choose between your lover and your best friend is
sometimes inevitable. Who should you choose is never certain.
In the end, whoever it is, whatever your decision is, breaks your heart.

     I first saw this boy at the canteen in our school. My eyes caught his and for a few seconds we were just staring at each other. I was at the same time busy trying to slow down my heartbeat which had accelerated. I was then the first one to look away, pretending that it didn’t mean anything. He was a really good looking boy with very deep-set eyes under dark eyebrows and cute lips under a nice perfect nose.
     Surprisingly, he also joined the same organisation as I did. I was very happy and started to think that it was our destiny. I tried to always be at the same time at the same place as him, mostly at the canteen and every weekend when we had a meeting or event related to our organisation. However, we never talked to each other. What we did all the time in our meetings was only look into each other’s eyes. Until finally one sunny afternoon after school, I was waiting for a bus when he suddenly was standing next to me. I was so surprised and for a second I couldn’t believe that he was just right there. For the first time he said hi and talked to me. Our first conversation didn’t last long, but we continued having conversations in our next meetings at school, until one day…
     One of my best friends at that time approached to talk to me. She said she’d noticed something. She said that she’d seen me talking to this boy a few times. I didn’t quite understand where she was going with her questions until she said she wanted to know him more personally. Right then, she, taking me by surprise, admitted having a crush on him. 
     I was a very shy girl. I didn’t talk about my feelings to anyone, including to those, I called my best friends. So, nobody knew about my crush on this boy, and I began to wish that I had told them. For quite a while, I didn’t know what to say since I wasn’t expecting this situation at all, but when she asked me to introduce her to him, I did say one thing.. That I promised to do it and I did. My friend was a very pretty girl and she was very popular. I kept asking myself why, of all the boys at school, did she like the same boy as I did. She could’ve chosen somebody else; she could’ve been with anyone. But why…
     Not long after I introduced her to him, the boy came to me and said that he needed to talk. I was reluctant at first but then agreed to meet after school. When he said that he liked me, I almost told him that I also liked him but something stopped me from saying it. I was very sad and had to hold my tears when I said, “I’m sorry, but I don’t have the same feeling, and I don’t want us to be more than friends.” I could see he was confused. I could tell that he knew that I actually liked him, and he even asked me why. A question that I could never answer. He then left me without asking more questions.        
www.playbuzz.com


Tuesday, September 13, 2016

Sang Pilot (Yang Bermata Kelam)

Terkadang hidup dan cinta memerlukan pengorbanan
Apapun keputusan yang kita pilih janganlah disesali
Selalu ada makna yang tersembunyi
Dan yakinlah selalu ada kebahagiaan dibalik kesedihan

Saat bel berbunyi, bergegas kami, aku dan Siska, teman sebangkuku, meninggalkan kelas dan berlari menuju kantin. Perutku melilit menahan lapar. Seperti biasa, kantin di jam istirahat selalu penuh sesak. Kami harus bersabar berdiri di antrian menunggu giliran dilayani. Saat leher dan kakiku mulai pegal, tiba-tiba aku menangkap sepasang mata memandang ke arahku. Belum pernah rasanya aku melihat mata itu, begitu dalam dinaungi alis yang cukup lebat. Tapi sinarnya begitu hangat membuatku tak bisa memalingkan pandangan. Selama beberapa detik, kami beradu tatap. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, ada rasa resah dan gelisah yang diam-diam menyeruak. Tak tahan dengan degupan di dada, aku pun akhirnya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipi. Saat akhirnya tiba giliranku dilayani dan akhirnya kami menemukan tempat duduk, aku kembali berusaha mencari sepasang mata kelam itu.

“Hey, Vika. Cari apa?” tanya Rani, salah satu teman dekatku. 

Aku tak langsung menjawab. Di sekolah, kami berempat, terdiri dari Siska, Rani, Novi dan aku sendiri, berteman baik. Sementara ketiga temanku sangat sering saling bercerita tentang diri mereka, keluarga, dan pacar-pacar mereka, aku amat sangat tertutup. Kadang-kadang, aku bercerita tentang keluarga atau seandainya ada sesuatu yang menyebalkan atau lucu, tapi aku tidak pernah menceritakan tentang cowo-cowo yang aku suka atau yang pernah dekat denganku. Awalnya, teman-temanku berusaha keras supaya aku mau bercerita tapi akhirnya mereka menyerah dengan harapan suatu saat, aku akan bersikap lebih terbuka.

“Hallo, Vika. Kamu baik-baik aja?” Rani pun bertanya lagi sembari melambaikan tangannya ke arahku.

“Err. Ya. Aku cuma kelaparan sih. Tadi ngga sempet sarapan.” elakku. Lalu aku pun mempercepat suapan baso tahu ke dalam mulutku, untuk membuktikan bahwa aku sangat kelaparan.
Ketiga temanku pun akhirnya melanjutkan percakapan mereka sementara aku masih berusaha mencari si pemilik mata kelam. 

Keesokan harinya sepulang sekolah, kami berempat duduk berkumpul di dalam salah satu ruang kelas, bersama dengan puluhan murid lain. Hari itu adalah hari pertama ekskul kami mengadakan pertemuan bagi anggota baru, termasuk kami berempat. Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol, kami dikagetkan oleh bunyi pintu yang terbuka. Aku terkejut setengah mati karena yang masuk adalah si mata kelam! Perasaanku tidak menentu. Antara kaget, cemas dan senang. Dia tampak tidak menyadari bahwa aku berada di antara kerumunan orang-orang di dalam ruangan. Ujung mataku tiada henti mencuri-curi ke arah tempatnya duduk. Akhirnya, dia pun melihat ke arahku. Entah aku hanya bermimpi atau berharap, aku melihat ada segaris senyum di bibirnya yang imut. Rasa panik membuatku membuang muka tanpa membalas senyumannya.

Pertemuan kami pun berlanjut. Setiap jam istirahat di kantin, setiap hari Sabtu di pertemuan ekskul dan setiap bubar sekolah. Sejauh ini kami hanya saling beradu tatap tanpa ada yang berani memulai sapaan. Tapi aku sudah cukup senang bisa memandangnya dari kejauhan sambil terkadang membalas senyum simpulnya.

Suatu hari, aku berdiri sendirian di tepi jalan. Angkutan umum yang kutunggu belum juga muncul sementara ketiga temanku sudah dalam perjalanan masing-masing. Meskipun bersahabat, kami tinggal di arah yang berbeda. Samar-samar aku mendengar suara langkah mendekat. Perlahan tapi pasti. Lalu, dia berdiri di sampingku. Awalnya, aku pura-pura tidak peduli. Lalu aku mendengar dia terbatuk kecil. Tak sabar, aku memalingkan wajah ke arahnya. Dan akupun terbelalak kaget.
Makhluk yang selama ini selalu kucari di antara kerumunan berada di sini. Dia tersenyum. Aku masih terbelalak menatapnya. 

“Yang lain pada ke mana? Tumben sendirian,” dia berujar pelan. 

“Udah pada pulang,” jawabku gugup.

“Oh. Pantesan aja. Kalian ke mana-mana kan selalu berempat. Jadi aku agak bingung tadi liat kamu sendirian di sini.”

Aku tak menjawab. Kurasakan keringat dingin mulai bercucuran. Aku berdoa dalam hati semoga cowo ini tidak mengajak berkenalan dan memaksa berjabat tangan karena…

“Kita belom pernah kenalan deh,” seakan dapat membaca pikiranku, dia tiba-tiba berkata membuatku hampir terlompat. “Kita udah sering ketemu tapi belom resmi berkenalan.”

Aku kembali menatapnya dengan terpaksa.

“Aku Yudis.” Dan dia pun mengulurkan tangannya.

Aku memaksakan senyum. “Vika.” Ragu-ragu aku mengulurkan tangan dan secepat mungkin menariknya kembali sebelum dia menyadari keringat dingin di tanganku.

“Kamu pulang ke arah mana?” tanyanya.

“Ke arah Buahbatu. Jauh sih dari sini,” jawabku. 

“Oh. Iya. Aku tau Buahbatu di mana. Ada temen yang tinggal di daerah sana juga. Aku anter pulang ya. Kasian kalo kamu sendirian.”

“Hah?” Aku terbatuk kaget. “Oh. Haha. Eh, Buahbatu ngga sejauh itu, kok. Aku udah biasa pulang sendiri,” tolakku.

“Ngga apa-apa juga kalo aku anter. Nanti aku bisa sekalian mampir ke rumah temenku,” katanya lagi.

“Hmmmm. Lain kali aja, ya. Soalnya sekarang juga aku kebetulan mau mampir ke sana sini.” Aku masih bersiteguh menolak tawarannya. Terus terang saja aku senang tapi aku merasa tidak siap harus berduaan dengannya dalam perjalanan pulangku yang cukup panjang. Aku termasuk cukup kaku dan tidak pintar berinteraksi dengan orang baru. Sekarang saja, aku merasa bingung harus memulai percakapan apa dengannya.

Yudis pun tersenyum lagi. “Oke. Terserah kamu deh. Tapi janji, ya, lain kali aku boleh anter kamu pulang.”

Aku mengangguk kuat-kuat dan membalas senyumannya.

Sejak saat itu, kami selalu berusaha untuk bercakap-cakap setiap kali ada kesempatan di sela-sela pertemuan rutin kami. Yudis banyak bercerita tentang keluarga, teman-temannya dan cita-citanya menjadi pilot. Dia sangat menyukai traveling dan menurutnya menjadi seorang pilot adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang sekaligus menekuni hobinya. Dan aku seperti biasa, lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik. Sekali-sekali Yudis bertanya tentang aku dan aku menjawab seadanya dan dia pun tampak tidak keberatan dengan itu. Meskipun percakapan kami selalu berlangsung singkat, tapi aku selalu menikmati setiap detik berada di hadapannya. Memandangi lukisan wajahnya yang indah. Memandangi bentuk hidung sempurnanya. Memandangi setiap jengkal senyumnya. 

Tentu saja, bercakap-cakap dengan Yudis berarti aku harus memisahkan diri dari sahabat-sahabatku meski tidak berarti aku menyembunyikan pertemuan ini dari mereka. Di suatu siang saat menanti hujan reda, aku duduk bersama ketiga sahabatku. Saat itu, Siska membuka percakapan di antara kami.

“Akhir-akhir ini kamu kelihatan akrab sama si Yudis.”

Aku menahan nafas gugup. Aku sudah tau suatu hari mereka akan bertanya tentang hal ini. Tapi tetap saja, aku belum siap untuk menjawabnya.

“Ya. Memang sih. Tapi kita cuma temen aja, kok.” Aku menunduk memainkan ujung tali tas selempangku. Lalu aku pun mulai menceritakan awal mula percakapan Yudis dan aku. Aku tidak sepenuhnya jujur pada mereka. Aku tidak menyebutkan bahwa dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku juga tidak mengakui bahwa aku memiliki perasaan istimewa terhadap Yudis. Tak ada satu pun di antara mereka yang curiga. Mereka percaya saja dengan apa yang aku ceritakan. 

Dalam hitungan detik setelah aku selesai dengan ceritaku, Siska berkata, “Sebetulnya ada yang Rani ingin ceritain ke kamu. Awalnya dia ragu-ragu, soalnya dia ngga yakin gimana perasaan kamu ke Yudis.” Siska menoleh ke arah Rani. “Ayo, Ran. Mendingan kamu ngomong langsung aja sama Vika. Barusan kan kamu udah denger cerita dia.”

Aku menoleh ke arah Rani, bertanya-tanya cerita apa yang ingin dia sampaikan. Aku takut dia mendengar hal buruk tentang Yudis dari orang lain dan kemudian melarang aku untuk terus berteman dengan Yudis. Tapi ternyata, masalahnya bukan itu.

“Aku suka sama Yudis, Vik,” ujar Rani tenang. “Aku seneng banget aku bakalan punya kesempatan untuk kenalan sama dia.”

Tenggorokanku tiba-tiba rasanya kering sekali. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku hanya memandang dengan tatapan kosong ke arah lapangan basket yang basah diguyur hujan.

“Kamu bisa ya bantuin aku,” kata Rani lagi.  “Please. Aku suka banget sama dia. Dari kemaren-kemaren sebenernya aku udah pengen bilang.”

Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan diri. Rani termasuk salah satu cewe populer di sekolah. Dengan kecantikan wajahnya dia bisa dengan mudah menunjuk salah satu cowo yang mengantri untuk jadi pacarnya. Tapi kenapa harus Yudis? Kenapa harus cowo yang sama yang juga aku suka? Sudah jelaslah kalau Yudis tau, dia akan lebih memilih Rani. Rasa sedih perlahan memasuki dadaku. Aku memejamkan mata berusaha mencerna kata-kata salah satu sahabatku itu.

“Vikaa.. Ih. Kamu denger ngga sih aku ngomong?”

“Iyaa. Aku denger,” jawabku lemas. “Kenapa sih kamu suka Yudis?” aku tidak tahan untuk tidak menanyakan itu.

“Entahlah. Aku juga ngga tau. Aku udah suka dia sejak pertama liat dia di pertemuan ekskul. Anaknya kayanya cool gitu. Ngga banyak ngomong. Ngga banyak tingkah. Aku jadi penasaran gitu deh.”

Yah. Jawaban yang sudah kuduga.

“Mau, ya, Vika. Kamu kenalin aku sama dia.”

Mau tidak mau aku pun mengangguk. 



Monday, September 12, 2016

Stay Strong

Life is hard. Sometimes we can't just avoid being in difficult situations. Sometimes we just feel like we won't be able to get through them. But, there is one thing we need to always remember. Things will get better. "It might be stormy now but it can't rain forever..."  STAY STRONG.

Picture by : Jim Holmboe