Translate

Showing posts with label Sajak. Show all posts
Showing posts with label Sajak. Show all posts

Sunday, May 10, 2020

To forgive is not to forget


Kini kuhanya ingin lupakan semua, mengenangmu menyesakkan jiwa.
Kan kuhapus air mata hingga kudapat sembuhkan luka
(Luka Lama - Coklat)


                                                                   
Masih tak dapat kupahami 
Rasa bencimu padaku
Masih terpatri dalam ingatanku
Perkataan kasarmu padaku
Sejuta maaf t'lah kulayangkan padamu
Tak satupun mampu menggoyahkan egomu
Tapi tak apalah, selalu ada hikmah di balik segala masalah



Seiring menggelapnya langit di atas kepalaku
Kan kupastikan 
Bahagiaku bukanlah kamu...




"Kabut Kota" (A novel by Ichsan Saif)





Saturday, May 20, 2017

Waktu Tak Bisa Berbalik

Still looking at the same path, yet realizing there have been so many changes...

     Menyusuri jalan setapak
     Napak tilas semua memori
     Menelusuri angan-angan dan pengandaian
     Yang pernah terlewati

     Di ujung jalan tampak sebuah bayangan
     Yang terlepas dari genggaman
     Seandainya waktu bisa berbalik
     Penyesalan tak akan pernah ada

Wednesday, May 17, 2017

Telah, Haruskah, Akankah?

Kurentangkan hati kubalut luka lama saat kau pergi
Kutegarkan diri walau bayangmu hadir di setiap mimpi
Kini kuhanya ingin lupakan semua, mengenangmu menyesakkan jiwa
Semoga kelak lupakan semua
(Luka Lama - Coklat)

     Saat kau memohon aku 'tuk menunggu, aku pun menunggu dengan sabar
     Saat kau meminta aku 'tuk berkunjung, aku pun berkunjung dengan suka cita
     Lalu sekarang kau menginginkan aku pergi, haruskah aku pergi dengan
     terpaksa?
     Kelak bila ku t'lah pergi, akankah kau mengemis untukku kembali dan
     memaafkan?


Tuesday, May 16, 2017

Pagi Menanti

... Selama mata terbuka sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun aku mampu 'tuk mengenangmu
Darimu kutemukan hidupku. Bagiku kaulah cinta sejati ...
(Kenangan Terindah - Samson)



     Di suatu pagi kutatap dia tanpa kedip
     Tak pernah kulihat dia seindah itu
     Dia pun lalu menjawab pandanganku
     Membuatku semakin tak ingin berpaling
   
     Seketika aku tau dengan pasti
     Senyumannya akan senantiasa kurindukan dan kucari
     Tunggulah aku, kan kukunjungi dirimu lagi




Friday, November 25, 2016

Tegar Bagai Sang Gunung


Malam-malamku bagai malam seribu bintang
Yang terbentang di angkasa bila kau di sini
'Tuk sekedar menemani 'tuk melintasi wangi
Yang s'lalu tersaji di satu sisi
Cintaku tak harus miliki dirimu meski perih mengiris...
(Roman Picisan - Dewa)



        Hidupku tidaklah sempurna
        Tanpa kehadiranmu di hadapanku, di sampingku
        Tapi aku harus tetap tegar
        Berdiri tegak bagai sang gunung
        Meski hanya sendiri
        Dinaungi gelap dan sepi


Picture by : Jim Holmboe

Wednesday, November 16, 2016

Angan Dan Mimpiku



Saat kutapaki jalan itu
Seakan kusadari ada dirimu
Berjalan di sampingku

Saat kutatap langit biru
Kubayangkan angan dan mimpiku
Untuk selalu bertemu denganmu

Saat kudengar sebuah lagu
Kuinginkan nada dan irama musikmu
Kau dendangkan hanya untukku

Saat kumasuki tidur malamku
Kumimpikan kau dan aku menyatu



"Maka izinkanlah aku mencintaimu atau biarkan aku sekedar sayang padamu
Maka maafkan jika ku mencintaimu atau biarkan ku berharap kau sayang padaku..."

Kala Cinta Menggoda - Chrisye

Pictures by : Jim Holmboe

Monday, October 31, 2016

Cahaya di Malam Temaram

Hidupku tanpa cintamu bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu bagai panas tanpa hujan
Jiwaku berbisik lirih ku harus milikimu
Dewa - Risalah Hati
https://www.youtube.com/watch?v=J6i53rCB0y8
Di tengah angin yang berdesir menggeser dedaunan
Seketika hati tergetar menjadi gelisah
Sekilas terlihat sesosok nan indah
Yang pernah nyata, namun kini telah samar dan kasat mata

Dalam kelam malam tanpa cahaya bintang
Tiada lelah mencari dan memohon pada dewi cinta
Tunjukanlah di mana sang belahan jiwa
Yang selalu dirindukan dalam setiap jengkal langkah

Tolong, bawalah dia pulang
Dia yang telah sekian lama menghilang
Hati ini tak akan pernah tenang
Terlalu banyak keindahan yang akan selalu terkenang


Many thanks for the inspirations to Ica Meinanda, Andy Dwi Gunawan, and Okto Noto Susanto.
         

Tuesday, October 25, 2016

One Night Full of Lights

One Night in Jogja


Walking at night with her empty mind
Ignoring all the laughter she hears around
Surrounded by many things but she sees nothing
Her heart is filled with an empty feeling

Loneliness, please leave me alone, she mourned a whisper
I want no one but my lover
Whose appearance has been long forgotten
But whose presence is always imagined

In her often long long night
She keeps looking for her knight
Wandering in the dark and letting the lights be her guide
'Till she can reach her love she's always missed

Picture by : Ica Meinanda

Sunday, October 16, 2016

Merindukanmu


Amsterdam, May 2012

Merindukanmu sudah menjadi bagian hari-hariku
Memimpikanmu sudah menjadi bagian malam-malamku
Pedih dan pilu sudah menjadi bagian hidupku

Susah payah aku menahan rindu ini
Kerja keras aku berusaha tak bermimpi
Lalu kusadari sulit ku menahan diri
Sampai kuputuskan 'tuk tak kutahan lagi


Picture by : Jim Holmboe

Saturday, September 17, 2016

Hanya Untukmu

Wolfersheim, May 2012

Aku tau aku mencintaimu, dengan tulus
Dengan segala kelebihan dan kekuranganmu
Aku tau aku akan selalu menjagamu
Selama kamu mengijinkan aku
Selama Tuhan mengijinkan aku

Aku tau aku mencintaimu
Dengan sepenuh hatiku

Picture by : Jim Holmboe

Tuesday, September 13, 2016

Sang Pilot (Yang Bermata Kelam)

Terkadang hidup dan cinta memerlukan pengorbanan
Apapun keputusan yang kita pilih janganlah disesali
Selalu ada makna yang tersembunyi
Dan yakinlah selalu ada kebahagiaan dibalik kesedihan

Saat bel berbunyi, bergegas kami, aku dan Siska, teman sebangkuku, meninggalkan kelas dan berlari menuju kantin. Perutku melilit menahan lapar. Seperti biasa, kantin di jam istirahat selalu penuh sesak. Kami harus bersabar berdiri di antrian menunggu giliran dilayani. Saat leher dan kakiku mulai pegal, tiba-tiba aku menangkap sepasang mata memandang ke arahku. Belum pernah rasanya aku melihat mata itu, begitu dalam dinaungi alis yang cukup lebat. Tapi sinarnya begitu hangat membuatku tak bisa memalingkan pandangan. Selama beberapa detik, kami beradu tatap. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, ada rasa resah dan gelisah yang diam-diam menyeruak. Tak tahan dengan degupan di dada, aku pun akhirnya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipi. Saat akhirnya tiba giliranku dilayani dan akhirnya kami menemukan tempat duduk, aku kembali berusaha mencari sepasang mata kelam itu.

“Hey, Vika. Cari apa?” tanya Rani, salah satu teman dekatku. 

Aku tak langsung menjawab. Di sekolah, kami berempat, terdiri dari Siska, Rani, Novi dan aku sendiri, berteman baik. Sementara ketiga temanku sangat sering saling bercerita tentang diri mereka, keluarga, dan pacar-pacar mereka, aku amat sangat tertutup. Kadang-kadang, aku bercerita tentang keluarga atau seandainya ada sesuatu yang menyebalkan atau lucu, tapi aku tidak pernah menceritakan tentang cowo-cowo yang aku suka atau yang pernah dekat denganku. Awalnya, teman-temanku berusaha keras supaya aku mau bercerita tapi akhirnya mereka menyerah dengan harapan suatu saat, aku akan bersikap lebih terbuka.

“Hallo, Vika. Kamu baik-baik aja?” Rani pun bertanya lagi sembari melambaikan tangannya ke arahku.

“Err. Ya. Aku cuma kelaparan sih. Tadi ngga sempet sarapan.” elakku. Lalu aku pun mempercepat suapan baso tahu ke dalam mulutku, untuk membuktikan bahwa aku sangat kelaparan.
Ketiga temanku pun akhirnya melanjutkan percakapan mereka sementara aku masih berusaha mencari si pemilik mata kelam. 

Keesokan harinya sepulang sekolah, kami berempat duduk berkumpul di dalam salah satu ruang kelas, bersama dengan puluhan murid lain. Hari itu adalah hari pertama ekskul kami mengadakan pertemuan bagi anggota baru, termasuk kami berempat. Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol, kami dikagetkan oleh bunyi pintu yang terbuka. Aku terkejut setengah mati karena yang masuk adalah si mata kelam! Perasaanku tidak menentu. Antara kaget, cemas dan senang. Dia tampak tidak menyadari bahwa aku berada di antara kerumunan orang-orang di dalam ruangan. Ujung mataku tiada henti mencuri-curi ke arah tempatnya duduk. Akhirnya, dia pun melihat ke arahku. Entah aku hanya bermimpi atau berharap, aku melihat ada segaris senyum di bibirnya yang imut. Rasa panik membuatku membuang muka tanpa membalas senyumannya.

Pertemuan kami pun berlanjut. Setiap jam istirahat di kantin, setiap hari Sabtu di pertemuan ekskul dan setiap bubar sekolah. Sejauh ini kami hanya saling beradu tatap tanpa ada yang berani memulai sapaan. Tapi aku sudah cukup senang bisa memandangnya dari kejauhan sambil terkadang membalas senyum simpulnya.

Suatu hari, aku berdiri sendirian di tepi jalan. Angkutan umum yang kutunggu belum juga muncul sementara ketiga temanku sudah dalam perjalanan masing-masing. Meskipun bersahabat, kami tinggal di arah yang berbeda. Samar-samar aku mendengar suara langkah mendekat. Perlahan tapi pasti. Lalu, dia berdiri di sampingku. Awalnya, aku pura-pura tidak peduli. Lalu aku mendengar dia terbatuk kecil. Tak sabar, aku memalingkan wajah ke arahnya. Dan akupun terbelalak kaget.
Makhluk yang selama ini selalu kucari di antara kerumunan berada di sini. Dia tersenyum. Aku masih terbelalak menatapnya. 

“Yang lain pada ke mana? Tumben sendirian,” dia berujar pelan. 

“Udah pada pulang,” jawabku gugup.

“Oh. Pantesan aja. Kalian ke mana-mana kan selalu berempat. Jadi aku agak bingung tadi liat kamu sendirian di sini.”

Aku tak menjawab. Kurasakan keringat dingin mulai bercucuran. Aku berdoa dalam hati semoga cowo ini tidak mengajak berkenalan dan memaksa berjabat tangan karena…

“Kita belom pernah kenalan deh,” seakan dapat membaca pikiranku, dia tiba-tiba berkata membuatku hampir terlompat. “Kita udah sering ketemu tapi belom resmi berkenalan.”

Aku kembali menatapnya dengan terpaksa.

“Aku Yudis.” Dan dia pun mengulurkan tangannya.

Aku memaksakan senyum. “Vika.” Ragu-ragu aku mengulurkan tangan dan secepat mungkin menariknya kembali sebelum dia menyadari keringat dingin di tanganku.

“Kamu pulang ke arah mana?” tanyanya.

“Ke arah Buahbatu. Jauh sih dari sini,” jawabku. 

“Oh. Iya. Aku tau Buahbatu di mana. Ada temen yang tinggal di daerah sana juga. Aku anter pulang ya. Kasian kalo kamu sendirian.”

“Hah?” Aku terbatuk kaget. “Oh. Haha. Eh, Buahbatu ngga sejauh itu, kok. Aku udah biasa pulang sendiri,” tolakku.

“Ngga apa-apa juga kalo aku anter. Nanti aku bisa sekalian mampir ke rumah temenku,” katanya lagi.

“Hmmmm. Lain kali aja, ya. Soalnya sekarang juga aku kebetulan mau mampir ke sana sini.” Aku masih bersiteguh menolak tawarannya. Terus terang saja aku senang tapi aku merasa tidak siap harus berduaan dengannya dalam perjalanan pulangku yang cukup panjang. Aku termasuk cukup kaku dan tidak pintar berinteraksi dengan orang baru. Sekarang saja, aku merasa bingung harus memulai percakapan apa dengannya.

Yudis pun tersenyum lagi. “Oke. Terserah kamu deh. Tapi janji, ya, lain kali aku boleh anter kamu pulang.”

Aku mengangguk kuat-kuat dan membalas senyumannya.

Sejak saat itu, kami selalu berusaha untuk bercakap-cakap setiap kali ada kesempatan di sela-sela pertemuan rutin kami. Yudis banyak bercerita tentang keluarga, teman-temannya dan cita-citanya menjadi pilot. Dia sangat menyukai traveling dan menurutnya menjadi seorang pilot adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang sekaligus menekuni hobinya. Dan aku seperti biasa, lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik. Sekali-sekali Yudis bertanya tentang aku dan aku menjawab seadanya dan dia pun tampak tidak keberatan dengan itu. Meskipun percakapan kami selalu berlangsung singkat, tapi aku selalu menikmati setiap detik berada di hadapannya. Memandangi lukisan wajahnya yang indah. Memandangi bentuk hidung sempurnanya. Memandangi setiap jengkal senyumnya. 

Tentu saja, bercakap-cakap dengan Yudis berarti aku harus memisahkan diri dari sahabat-sahabatku meski tidak berarti aku menyembunyikan pertemuan ini dari mereka. Di suatu siang saat menanti hujan reda, aku duduk bersama ketiga sahabatku. Saat itu, Siska membuka percakapan di antara kami.

“Akhir-akhir ini kamu kelihatan akrab sama si Yudis.”

Aku menahan nafas gugup. Aku sudah tau suatu hari mereka akan bertanya tentang hal ini. Tapi tetap saja, aku belum siap untuk menjawabnya.

“Ya. Memang sih. Tapi kita cuma temen aja, kok.” Aku menunduk memainkan ujung tali tas selempangku. Lalu aku pun mulai menceritakan awal mula percakapan Yudis dan aku. Aku tidak sepenuhnya jujur pada mereka. Aku tidak menyebutkan bahwa dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku juga tidak mengakui bahwa aku memiliki perasaan istimewa terhadap Yudis. Tak ada satu pun di antara mereka yang curiga. Mereka percaya saja dengan apa yang aku ceritakan. 

Dalam hitungan detik setelah aku selesai dengan ceritaku, Siska berkata, “Sebetulnya ada yang Rani ingin ceritain ke kamu. Awalnya dia ragu-ragu, soalnya dia ngga yakin gimana perasaan kamu ke Yudis.” Siska menoleh ke arah Rani. “Ayo, Ran. Mendingan kamu ngomong langsung aja sama Vika. Barusan kan kamu udah denger cerita dia.”

Aku menoleh ke arah Rani, bertanya-tanya cerita apa yang ingin dia sampaikan. Aku takut dia mendengar hal buruk tentang Yudis dari orang lain dan kemudian melarang aku untuk terus berteman dengan Yudis. Tapi ternyata, masalahnya bukan itu.

“Aku suka sama Yudis, Vik,” ujar Rani tenang. “Aku seneng banget aku bakalan punya kesempatan untuk kenalan sama dia.”

Tenggorokanku tiba-tiba rasanya kering sekali. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku hanya memandang dengan tatapan kosong ke arah lapangan basket yang basah diguyur hujan.

“Kamu bisa ya bantuin aku,” kata Rani lagi.  “Please. Aku suka banget sama dia. Dari kemaren-kemaren sebenernya aku udah pengen bilang.”

Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan diri. Rani termasuk salah satu cewe populer di sekolah. Dengan kecantikan wajahnya dia bisa dengan mudah menunjuk salah satu cowo yang mengantri untuk jadi pacarnya. Tapi kenapa harus Yudis? Kenapa harus cowo yang sama yang juga aku suka? Sudah jelaslah kalau Yudis tau, dia akan lebih memilih Rani. Rasa sedih perlahan memasuki dadaku. Aku memejamkan mata berusaha mencerna kata-kata salah satu sahabatku itu.

“Vikaa.. Ih. Kamu denger ngga sih aku ngomong?”

“Iyaa. Aku denger,” jawabku lemas. “Kenapa sih kamu suka Yudis?” aku tidak tahan untuk tidak menanyakan itu.

“Entahlah. Aku juga ngga tau. Aku udah suka dia sejak pertama liat dia di pertemuan ekskul. Anaknya kayanya cool gitu. Ngga banyak ngomong. Ngga banyak tingkah. Aku jadi penasaran gitu deh.”

Yah. Jawaban yang sudah kuduga.

“Mau, ya, Vika. Kamu kenalin aku sama dia.”

Mau tidak mau aku pun mengangguk.