Translate

Tuesday, September 13, 2016

Sang Pilot (Yang Bermata Kelam)

Terkadang hidup dan cinta memerlukan pengorbanan
Apapun keputusan yang kita pilih janganlah disesali
Selalu ada makna yang tersembunyi
Dan yakinlah selalu ada kebahagiaan dibalik kesedihan

Saat bel berbunyi, bergegas kami, aku dan Siska, teman sebangkuku, meninggalkan kelas dan berlari menuju kantin. Perutku melilit menahan lapar. Seperti biasa, kantin di jam istirahat selalu penuh sesak. Kami harus bersabar berdiri di antrian menunggu giliran dilayani. Saat leher dan kakiku mulai pegal, tiba-tiba aku menangkap sepasang mata memandang ke arahku. Belum pernah rasanya aku melihat mata itu, begitu dalam dinaungi alis yang cukup lebat. Tapi sinarnya begitu hangat membuatku tak bisa memalingkan pandangan. Selama beberapa detik, kami beradu tatap. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, ada rasa resah dan gelisah yang diam-diam menyeruak. Tak tahan dengan degupan di dada, aku pun akhirnya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipi. Saat akhirnya tiba giliranku dilayani dan akhirnya kami menemukan tempat duduk, aku kembali berusaha mencari sepasang mata kelam itu.

“Hey, Vika. Cari apa?” tanya Rani, salah satu teman dekatku. 

Aku tak langsung menjawab. Di sekolah, kami berempat, terdiri dari Siska, Rani, Novi dan aku sendiri, berteman baik. Sementara ketiga temanku sangat sering saling bercerita tentang diri mereka, keluarga, dan pacar-pacar mereka, aku amat sangat tertutup. Kadang-kadang, aku bercerita tentang keluarga atau seandainya ada sesuatu yang menyebalkan atau lucu, tapi aku tidak pernah menceritakan tentang cowo-cowo yang aku suka atau yang pernah dekat denganku. Awalnya, teman-temanku berusaha keras supaya aku mau bercerita tapi akhirnya mereka menyerah dengan harapan suatu saat, aku akan bersikap lebih terbuka.

“Hallo, Vika. Kamu baik-baik aja?” Rani pun bertanya lagi sembari melambaikan tangannya ke arahku.

“Err. Ya. Aku cuma kelaparan sih. Tadi ngga sempet sarapan.” elakku. Lalu aku pun mempercepat suapan baso tahu ke dalam mulutku, untuk membuktikan bahwa aku sangat kelaparan.
Ketiga temanku pun akhirnya melanjutkan percakapan mereka sementara aku masih berusaha mencari si pemilik mata kelam. 

Keesokan harinya sepulang sekolah, kami berempat duduk berkumpul di dalam salah satu ruang kelas, bersama dengan puluhan murid lain. Hari itu adalah hari pertama ekskul kami mengadakan pertemuan bagi anggota baru, termasuk kami berempat. Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol, kami dikagetkan oleh bunyi pintu yang terbuka. Aku terkejut setengah mati karena yang masuk adalah si mata kelam! Perasaanku tidak menentu. Antara kaget, cemas dan senang. Dia tampak tidak menyadari bahwa aku berada di antara kerumunan orang-orang di dalam ruangan. Ujung mataku tiada henti mencuri-curi ke arah tempatnya duduk. Akhirnya, dia pun melihat ke arahku. Entah aku hanya bermimpi atau berharap, aku melihat ada segaris senyum di bibirnya yang imut. Rasa panik membuatku membuang muka tanpa membalas senyumannya.

Pertemuan kami pun berlanjut. Setiap jam istirahat di kantin, setiap hari Sabtu di pertemuan ekskul dan setiap bubar sekolah. Sejauh ini kami hanya saling beradu tatap tanpa ada yang berani memulai sapaan. Tapi aku sudah cukup senang bisa memandangnya dari kejauhan sambil terkadang membalas senyum simpulnya.

Suatu hari, aku berdiri sendirian di tepi jalan. Angkutan umum yang kutunggu belum juga muncul sementara ketiga temanku sudah dalam perjalanan masing-masing. Meskipun bersahabat, kami tinggal di arah yang berbeda. Samar-samar aku mendengar suara langkah mendekat. Perlahan tapi pasti. Lalu, dia berdiri di sampingku. Awalnya, aku pura-pura tidak peduli. Lalu aku mendengar dia terbatuk kecil. Tak sabar, aku memalingkan wajah ke arahnya. Dan akupun terbelalak kaget.
Makhluk yang selama ini selalu kucari di antara kerumunan berada di sini. Dia tersenyum. Aku masih terbelalak menatapnya. 

“Yang lain pada ke mana? Tumben sendirian,” dia berujar pelan. 

“Udah pada pulang,” jawabku gugup.

“Oh. Pantesan aja. Kalian ke mana-mana kan selalu berempat. Jadi aku agak bingung tadi liat kamu sendirian di sini.”

Aku tak menjawab. Kurasakan keringat dingin mulai bercucuran. Aku berdoa dalam hati semoga cowo ini tidak mengajak berkenalan dan memaksa berjabat tangan karena…

“Kita belom pernah kenalan deh,” seakan dapat membaca pikiranku, dia tiba-tiba berkata membuatku hampir terlompat. “Kita udah sering ketemu tapi belom resmi berkenalan.”

Aku kembali menatapnya dengan terpaksa.

“Aku Yudis.” Dan dia pun mengulurkan tangannya.

Aku memaksakan senyum. “Vika.” Ragu-ragu aku mengulurkan tangan dan secepat mungkin menariknya kembali sebelum dia menyadari keringat dingin di tanganku.

“Kamu pulang ke arah mana?” tanyanya.

“Ke arah Buahbatu. Jauh sih dari sini,” jawabku. 

“Oh. Iya. Aku tau Buahbatu di mana. Ada temen yang tinggal di daerah sana juga. Aku anter pulang ya. Kasian kalo kamu sendirian.”

“Hah?” Aku terbatuk kaget. “Oh. Haha. Eh, Buahbatu ngga sejauh itu, kok. Aku udah biasa pulang sendiri,” tolakku.

“Ngga apa-apa juga kalo aku anter. Nanti aku bisa sekalian mampir ke rumah temenku,” katanya lagi.

“Hmmmm. Lain kali aja, ya. Soalnya sekarang juga aku kebetulan mau mampir ke sana sini.” Aku masih bersiteguh menolak tawarannya. Terus terang saja aku senang tapi aku merasa tidak siap harus berduaan dengannya dalam perjalanan pulangku yang cukup panjang. Aku termasuk cukup kaku dan tidak pintar berinteraksi dengan orang baru. Sekarang saja, aku merasa bingung harus memulai percakapan apa dengannya.

Yudis pun tersenyum lagi. “Oke. Terserah kamu deh. Tapi janji, ya, lain kali aku boleh anter kamu pulang.”

Aku mengangguk kuat-kuat dan membalas senyumannya.

Sejak saat itu, kami selalu berusaha untuk bercakap-cakap setiap kali ada kesempatan di sela-sela pertemuan rutin kami. Yudis banyak bercerita tentang keluarga, teman-temannya dan cita-citanya menjadi pilot. Dia sangat menyukai traveling dan menurutnya menjadi seorang pilot adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang sekaligus menekuni hobinya. Dan aku seperti biasa, lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik. Sekali-sekali Yudis bertanya tentang aku dan aku menjawab seadanya dan dia pun tampak tidak keberatan dengan itu. Meskipun percakapan kami selalu berlangsung singkat, tapi aku selalu menikmati setiap detik berada di hadapannya. Memandangi lukisan wajahnya yang indah. Memandangi bentuk hidung sempurnanya. Memandangi setiap jengkal senyumnya. 

Tentu saja, bercakap-cakap dengan Yudis berarti aku harus memisahkan diri dari sahabat-sahabatku meski tidak berarti aku menyembunyikan pertemuan ini dari mereka. Di suatu siang saat menanti hujan reda, aku duduk bersama ketiga sahabatku. Saat itu, Siska membuka percakapan di antara kami.

“Akhir-akhir ini kamu kelihatan akrab sama si Yudis.”

Aku menahan nafas gugup. Aku sudah tau suatu hari mereka akan bertanya tentang hal ini. Tapi tetap saja, aku belum siap untuk menjawabnya.

“Ya. Memang sih. Tapi kita cuma temen aja, kok.” Aku menunduk memainkan ujung tali tas selempangku. Lalu aku pun mulai menceritakan awal mula percakapan Yudis dan aku. Aku tidak sepenuhnya jujur pada mereka. Aku tidak menyebutkan bahwa dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku juga tidak mengakui bahwa aku memiliki perasaan istimewa terhadap Yudis. Tak ada satu pun di antara mereka yang curiga. Mereka percaya saja dengan apa yang aku ceritakan. 

Dalam hitungan detik setelah aku selesai dengan ceritaku, Siska berkata, “Sebetulnya ada yang Rani ingin ceritain ke kamu. Awalnya dia ragu-ragu, soalnya dia ngga yakin gimana perasaan kamu ke Yudis.” Siska menoleh ke arah Rani. “Ayo, Ran. Mendingan kamu ngomong langsung aja sama Vika. Barusan kan kamu udah denger cerita dia.”

Aku menoleh ke arah Rani, bertanya-tanya cerita apa yang ingin dia sampaikan. Aku takut dia mendengar hal buruk tentang Yudis dari orang lain dan kemudian melarang aku untuk terus berteman dengan Yudis. Tapi ternyata, masalahnya bukan itu.

“Aku suka sama Yudis, Vik,” ujar Rani tenang. “Aku seneng banget aku bakalan punya kesempatan untuk kenalan sama dia.”

Tenggorokanku tiba-tiba rasanya kering sekali. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku hanya memandang dengan tatapan kosong ke arah lapangan basket yang basah diguyur hujan.

“Kamu bisa ya bantuin aku,” kata Rani lagi.  “Please. Aku suka banget sama dia. Dari kemaren-kemaren sebenernya aku udah pengen bilang.”

Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan diri. Rani termasuk salah satu cewe populer di sekolah. Dengan kecantikan wajahnya dia bisa dengan mudah menunjuk salah satu cowo yang mengantri untuk jadi pacarnya. Tapi kenapa harus Yudis? Kenapa harus cowo yang sama yang juga aku suka? Sudah jelaslah kalau Yudis tau, dia akan lebih memilih Rani. Rasa sedih perlahan memasuki dadaku. Aku memejamkan mata berusaha mencerna kata-kata salah satu sahabatku itu.

“Vikaa.. Ih. Kamu denger ngga sih aku ngomong?”

“Iyaa. Aku denger,” jawabku lemas. “Kenapa sih kamu suka Yudis?” aku tidak tahan untuk tidak menanyakan itu.

“Entahlah. Aku juga ngga tau. Aku udah suka dia sejak pertama liat dia di pertemuan ekskul. Anaknya kayanya cool gitu. Ngga banyak ngomong. Ngga banyak tingkah. Aku jadi penasaran gitu deh.”

Yah. Jawaban yang sudah kuduga.

“Mau, ya, Vika. Kamu kenalin aku sama dia.”

Mau tidak mau aku pun mengangguk. 






Rani tidak harus menunggu lama untuk bisa berkenalan dengan Yudis. Kesempatan datang keesokan harinya di depan gerbang sekolah. Aku baru saja turun dari angkutan umum dan sedang berjalan memasuki sekolah saat pundakku tiba-tiba ditepuk dengan hati-hati. Aku menoleh dan melihat Yudis memamerkan senyum simpatiknya. Aku membalas senyumnya. Rasa sedih kembali muncul. Entah sampai kapan aku akan bisa menikmati senyumnya, pikirku dalam hati.

“Vikaa..” Suara yang aku kenal baik melenyapkan senyuman dari wajahku. Aku menoleh ke arah kiriku.

“Hey, Ran..” aku menjawab pelan. Berusaha menenangkan diri. Yudis masih berdiri di sampingku. Dia ikut berhenti saat aku berhenti menunggu Rani yang berlari ke arahku.

“Tumben kamu datang agak telat,” Rani berkata sambil tersenyum dan menatapku menggoda. Lalu dia menoleh ke arah Yudis. “Hai..” sapanya.

“Hai,” balas Yudis.

“Ehm. Yudis, ini Rani. Rani, ini Yudis,” dengan separuh hati aku menjalankan bagianku sebagai perantara, sesuai permintaan Rani.

“Hey, Yudis.” Rani mengulurkan tangannya dengan ramah. Yudis pun menyambutnya tanpa ragu.

Kepalaku serasa berputar dan aku tiba-tiba merasa mual. “Aku ke toilet dulu, ya. Kalian duluan aja.  Ngga usah nungguin aku.”

Aku bergegas berlari ke arah toilet, meninggalkan Rani dan Yudis bercakap-cakap berdua. Semalam suntuk aku memikirkan apa yang harus aku lakukan. Aku tidak pernah menyangka bahwa sahabatku juga akan jatuh cinta kepada cowo yang sama denganku. Dan aku tidak pernah menyangka bahwa akulah yang akan jadi perantara untuk membuka perkenalan antara mereka berdua. Aku tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi secepat ini. Sadar bahwa aku akan kehilangan Yudis dalam waktu dekat membuat semangatku sedikit menghilang. Aku yang memang pada dasarnya pendiam, menjadi semakin pendiam. Sejak perkenalan Rani dengan Yudis, waktu aku mengobrol berdua dengan Yudis menjadi tidak ada. Rani selalu ada di antara kami berdua. Dan pada akhirnya dia yang lebih banyak mengobrol dengan Yudis sementara aku kembali ke peranku semula, menjadi pendengar. Kali ini aku hanya tampak seperti mendengarkan tapi sesungguhnya pikiranku berlari-lari kesana kemari memikirkan apa yang mungkin akan terjadi. Ada rasa menyesal bahwa aku tidak pernah berterus terang kepada sahabat-sahabatku. Ada rasa menyesal bahwa aku telah mengenalkan Rani kepada Yudis.

Di luar dugaan, suatu hari aku menemukan secarik kertas terlipat di atas mejaku di kelas. Aku melihat namaku tertulis di atasnya. Dengan segera aku membuka lipatan kertas dan membaca apa yang tertulis di dalamnya.

“Ada yang aku pengen omongin ke kamu. Bisa ketemu siang nanti di belakang
sekolah? Aku tunggu, ya.
 
-Yudis-“

Dadaku berdegup kencang. Apa yang kira-kira ingin dia bicarakan denganku? Bahwa dia suka Rani? Bahwa dia sudah memutuskan untuk pacaran dengan Rani? Aku menimbang-nimbang, haruskah aku mengabulkan permintaannya untuk bertemu sepulang sekolah nanti?

Dengan berat hati aku memutuskan untuk menemui Yudis di belakang sekolah. Dengan alasan sakit perut, aku menghindari ketiga sahabatku untuk makan di kantin sama-sama. Aku berlari secepat mungkin mengitari sekolah. Keluar dari gerbang depan dan berputar ke arah gerbang belakang. Yudis sudah menunggu berdiri di bawah pohon beringin besar ciri khas sekolah kami.

“Aku agak khawatir kamu ngga akan datang,” katanya datar. Lalu tersenyum.

Aku masih terengah-engah, tidak segera menjawab, berusaha mengatur nafas dan akhirnya balas tersenyum. “Mau ngomong apa sih, Yud?”

Yudis menatapku dengan mata kelamnya yang lembut. Dia bersandar di batang pohon beringin dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. “Aku suka kamu,” katanya singkat.

Aku melongo. Apa yang dikatakan Yudis betul-betul mengagetkanku. Aku hanya bisa menatapnya. Bingung. Mata kelam Yudis semakin menggelap tergantikan oleh bayangan Rani dan senyum di wajah cantiknya. Terngiang-ngiang ocehan Rani tentang perasaannya terhadap Yudis. Bahwa dia selalu senang setiap berada di dekat Yudis. Bahwa dia sangat berharap Yudis akan segera mengajaknya kencan. Bahwa…

“Vika..” Panggilan Yudis membuyarkan bayangan Rani membawaku kembali menatap mata kelamnya. “Aku mau kamu jadi pacarku.” Yudis menghela nafas gugup. “Kamu gimana?”

Aku masih terdiam. 

“Kamu ngga harus jawab sekarang, kok,” kata Yudis. “Tapi jangan kelamaan ya, mikirnya..”

Aku menguatkan diri untuk kembali menatap Yudis. Menelan ludah dan berkata, “Aku jawab sekarang deh Yud.” Aku memainkan ujung tali tas selempangku lagi. Kebiasaanku kalau sedang gugup. “Aku ngga bisa jadi pacar kamu.” Aku merasa dadaku sesak saat mengatakan ini. Aku sendiri tidak menyangka bahwa kalimat inilah yang akan keluar dari mulutku.
“Maafin aku, yaa..”

Senyum dari wajah Yudis perlahan menghilang. Bingung tampak jelas tergambar di wajah tampannya. “Kenapa?”

Aku menarik nafas menguatkan hati saat melanjutkan, “Aku ngga punya perasaan apa-apa sama kamu. Kalau kita ingin melanjutkan hubungan kita ke arah itu, aku pikir, kita harus mempunyai perasaan yang sama. Tidak adil kalau hanya satu orang saja yang merasa sayang.”

Kepalaku berputar-putar semakin cepat. Aku harus bersusah payah untuk menahan air mataku supaya tidak terjatuh. Kubayangkan wajah Rani. Kukuatkan hatiku.

“Tapi kenapa?” tanya Yudis lagi. “Ada sesuatu yang lain kah?” desaknya.

Aku menggeleng lemah. Menghindari tatapan matanya yang menyelidik. Aku menundukkan kepala dan terus memainkan tali di tanganku.

“Oke.” Yudis tiba-tiba melangkah pergi, meninggalkan aku sendirian menatap pohon beringin di depanku tanpa basa basi. Dan air mataku pun perlahan mengalir. 

Aku tau bahwa dia tau kalau aku sebenarnya juga menyukai dia. Aku bisa merasakan tatapan kecewa yang penuh tanda tanya itu dan aku merasa marah pada diriku sendiri karena aku sudah menyakitinya, sudah membohonginya. Sejujurnya aku tidak tau apakah keputusan aku ini benar atau tidak. Tapi aku lakukan semua ini demi sahabatku. Aku tidak mau dia terluka meskipun itu berarti aku melukai diriku sendiri dan Yudis..


Hari-hari berikutnya kulalui dengan berat. Sejak saat itu, Yudis tidak pernah lagi datang menghampiriku. Beberapa kali aku melihat dia mengobrol dengan Rani tapi aku pun menyadari bahwa dia juga berusaha menghindari Rani. Menurut pengakuan Rani, perlakuan Yudis padanya berubah menjadi lebih dingin yang pada akhirnya menyebabkan Rani berhenti mendekati Yudis.


www.playbuzz.com

Beberapa tahun kemudian

Hari ini cuaca indah sekali. Aku dan suamiku sedang berada di ruang tunggu bandara internasional menanti waktu keberangkatan kami ke Bali. Masih ada sisa waktu yang cukup sebelum gerbang keberangkatan dibuka, untuk berjalan-jalan mengitari bandara. Aku tinggalkan suamiku yang sedang asyik membaca buku, melangkahkan kaki menuju pertokoan dan cafe di sekitar bandara. 

Sepuluh tahun berlalu sejak terakhir kali aku berbicara dengan Yudis. Aku sudah menemukan hidupku sendiri dan aku yakin dia pun sudah menemukan kehidupannya. Aku tidak pernah berharap bahwa aku akan melihatnya lagi. Tidak juga hari ini. Tapi saat aku memutar kepala dari toko di hadapanku, samar-samar aku memandang tepat ke arah mata kelam yang pernah aku kagumi bertahun-tahun lalu. Aku mengejapkan mata berkali-kali meyakinkan ini bukan hanya imajinasiku. Perlahan, mata itu menyipit menandakan senyuman di wajah pemiliknya. Aku balas tersenyum.

“Hey,” sapaku membuka percakapan. 

“Hey,” balas Yudis.

Aku memandangnya, terpesona. Dia tampak berbeda. Seragam pilot yang dia kenakan membuatnya terlihat semakin tampan. Kami saling bertukar kabar. Aku bekerja sebagai guru di salah satu sekolah di sini dan dia bercerita bahwa dia bekerja sebagai pilot di salah satu maskapai penerbangan nasional.

“Ah,” ujarku sambil tersenyum. “Aku senang kamu berhasil lolos masuk sekolah penerbangan. Lalu jadi pilot seperti cita-cita kamu dulu.”

Yudis terdiam sejenak sebelum berkata, “Ternyata kamu masih ingat, ya,” sambil dia menatapku dengan pandangan lunak.

Perkataan Yudis menciptakan keheningan di antara kami. Benakku berlari menggali kenangan masa lalu. Pada kebersamaan kami yang sementara. Pada percapakan-percakapan kami yang singkat. Kehadirannya di hadapanku mengingatkanku akan perasaan yang sudah bertaun-taun terkubur dalam-dalam. Kehadirannya ternyata masih mampu menumbuhkan perasaan itu kembali.

“Aku harus pergi,” kataku perlahan memecah kesunyian, tak ingin berlarut memikirkan yang telah berlalu. “Sukses ya. Suatu saat, kamu mungkin akan jadi pilot di salah satu pesawat yang akan aku tumpangi.”

Yudis mengangguk, mengulurkan tangannya. “Bye. Sampai ketemu di lain waktu.”

Kusambut uluran tangannya. Kami berpandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya Yudis menarik tangannya lalu berjalan melewatiku. Aku menghela nafas perlahan. Kubalikkan tubuhku. Masih bisa kulihat badannya yang tegap berjalan menjauh di antara kerumunan. Diam-diam aku berharap, dia akan berbalik dan melihatku dan berjalan kembali ke arahku. Tapi ini hanya sebuah asa. Semakin lama bayangannya semakin menjauh dan akhirnya menghilang.

"If only I could turn back time. If only I had said what I still hide.
If only I could turn back time. I would stay for the night.. "
Aqua - Turn Back Time
https://www.youtube.com/watch?v=hXJCTyg4lqk

3 comments: