 |
Terkadang hidup dan cinta memerlukan pengorbanan
Apapun keputusan yang kita pilih janganlah disesali
Selalu ada makna yang tersembunyi
Dan yakinlah selalu ada kebahagiaan dibalik kesedihan |
Saat bel berbunyi, bergegas kami, aku dan Siska, teman sebangkuku, meninggalkan kelas dan berlari menuju kantin. Perutku melilit menahan lapar. Seperti biasa, kantin di jam istirahat selalu penuh sesak. Kami harus bersabar berdiri di antrian menunggu giliran dilayani. Saat leher dan kakiku mulai pegal, tiba-tiba aku menangkap sepasang mata memandang ke arahku. Belum pernah rasanya aku melihat mata itu, begitu dalam dinaungi alis yang cukup lebat. Tapi sinarnya begitu hangat membuatku tak bisa memalingkan pandangan. Selama beberapa detik, kami beradu tatap. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, ada rasa resah dan gelisah yang diam-diam menyeruak. Tak tahan dengan degupan di dada, aku pun akhirnya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipi. Saat akhirnya tiba giliranku dilayani dan akhirnya kami menemukan tempat duduk, aku kembali berusaha mencari sepasang mata kelam itu.
“Hey, Vika. Cari apa?” tanya Rani, salah satu teman dekatku.
Aku tak langsung menjawab. Di sekolah, kami berempat, terdiri dari Siska, Rani, Novi dan aku sendiri, berteman baik. Sementara ketiga temanku sangat sering saling bercerita tentang diri mereka, keluarga, dan pacar-pacar mereka, aku amat sangat tertutup. Kadang-kadang, aku bercerita tentang keluarga atau seandainya ada sesuatu yang menyebalkan atau lucu, tapi aku tidak pernah menceritakan tentang cowo-cowo yang aku suka atau yang pernah dekat denganku. Awalnya, teman-temanku berusaha keras supaya aku mau bercerita tapi akhirnya mereka menyerah dengan harapan suatu saat, aku akan bersikap lebih terbuka.
“Hallo, Vika. Kamu baik-baik aja?” Rani pun bertanya lagi sembari melambaikan tangannya ke arahku.
“Err. Ya. Aku cuma kelaparan sih. Tadi ngga sempet sarapan.” elakku. Lalu aku pun mempercepat suapan baso tahu ke dalam mulutku, untuk membuktikan bahwa aku sangat kelaparan.
Ketiga temanku pun akhirnya melanjutkan percakapan mereka sementara aku masih berusaha mencari si pemilik mata kelam.
Keesokan harinya sepulang sekolah, kami berempat duduk berkumpul di dalam salah satu ruang kelas, bersama dengan puluhan murid lain. Hari itu adalah hari pertama ekskul kami mengadakan pertemuan bagi anggota baru, termasuk kami berempat. Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol, kami dikagetkan oleh bunyi pintu yang terbuka. Aku terkejut setengah mati karena yang masuk adalah si mata kelam! Perasaanku tidak menentu. Antara kaget, cemas dan senang. Dia tampak tidak menyadari bahwa aku berada di antara kerumunan orang-orang di dalam ruangan. Ujung mataku tiada henti mencuri-curi ke arah tempatnya duduk. Akhirnya, dia pun melihat ke arahku. Entah aku hanya bermimpi atau berharap, aku melihat ada segaris senyum di bibirnya yang imut. Rasa panik membuatku membuang muka tanpa membalas senyumannya.
Pertemuan kami pun berlanjut. Setiap jam istirahat di kantin, setiap hari Sabtu di pertemuan ekskul dan setiap bubar sekolah. Sejauh ini kami hanya saling beradu tatap tanpa ada yang berani memulai sapaan. Tapi aku sudah cukup senang bisa memandangnya dari kejauhan sambil terkadang membalas senyum simpulnya.
Suatu hari, aku berdiri sendirian di tepi jalan. Angkutan umum yang kutunggu belum juga muncul sementara ketiga temanku sudah dalam perjalanan masing-masing. Meskipun bersahabat, kami tinggal di arah yang berbeda. Samar-samar aku mendengar suara langkah mendekat. Perlahan tapi pasti. Lalu, dia berdiri di sampingku. Awalnya, aku pura-pura tidak peduli. Lalu aku mendengar dia terbatuk kecil. Tak sabar, aku memalingkan wajah ke arahnya. Dan akupun terbelalak kaget.
Makhluk yang selama ini selalu kucari di antara kerumunan berada di sini. Dia tersenyum. Aku masih terbelalak menatapnya.
“Yang lain pada ke mana? Tumben sendirian,” dia berujar pelan.
“Udah pada pulang,” jawabku gugup.
“Oh. Pantesan aja. Kalian ke mana-mana kan selalu berempat. Jadi aku agak bingung tadi liat kamu sendirian di sini.”
Aku tak menjawab. Kurasakan keringat dingin mulai bercucuran. Aku berdoa dalam hati semoga cowo ini tidak mengajak berkenalan dan memaksa berjabat tangan karena…
“Kita belom pernah kenalan deh,” seakan dapat membaca pikiranku, dia tiba-tiba berkata membuatku hampir terlompat. “Kita udah sering ketemu tapi belom resmi berkenalan.”
Aku kembali menatapnya dengan terpaksa.
“Aku Yudis.” Dan dia pun mengulurkan tangannya.
Aku memaksakan senyum. “Vika.” Ragu-ragu aku mengulurkan tangan dan secepat mungkin menariknya kembali sebelum dia menyadari keringat dingin di tanganku.
“Kamu pulang ke arah mana?” tanyanya.
“Ke arah Buahbatu. Jauh sih dari sini,” jawabku.
“Oh. Iya. Aku tau Buahbatu di mana. Ada temen yang tinggal di daerah sana juga. Aku anter pulang ya. Kasian kalo kamu sendirian.”
“Hah?” Aku terbatuk kaget. “Oh. Haha. Eh, Buahbatu ngga sejauh itu, kok. Aku udah biasa pulang sendiri,” tolakku.
“Ngga apa-apa juga kalo aku anter. Nanti aku bisa sekalian mampir ke rumah temenku,” katanya lagi.
“Hmmmm. Lain kali aja, ya. Soalnya sekarang juga aku kebetulan mau mampir ke sana sini.” Aku masih bersiteguh menolak tawarannya. Terus terang saja aku senang tapi aku merasa tidak siap harus berduaan dengannya dalam perjalanan pulangku yang cukup panjang. Aku termasuk cukup kaku dan tidak pintar berinteraksi dengan orang baru. Sekarang saja, aku merasa bingung harus memulai percakapan apa dengannya.
Yudis pun tersenyum lagi. “Oke. Terserah kamu deh. Tapi janji, ya, lain kali aku boleh anter kamu pulang.”
Aku mengangguk kuat-kuat dan membalas senyumannya.
Sejak saat itu, kami selalu berusaha untuk bercakap-cakap setiap kali ada kesempatan di sela-sela pertemuan rutin kami. Yudis banyak bercerita tentang keluarga, teman-temannya dan cita-citanya menjadi pilot. Dia sangat menyukai traveling dan menurutnya menjadi seorang pilot adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang sekaligus menekuni hobinya. Dan aku seperti biasa, lebih banyak berperan sebagai pendengar yang baik. Sekali-sekali Yudis bertanya tentang aku dan aku menjawab seadanya dan dia pun tampak tidak keberatan dengan itu. Meskipun percakapan kami selalu berlangsung singkat, tapi aku selalu menikmati setiap detik berada di hadapannya. Memandangi lukisan wajahnya yang indah. Memandangi bentuk hidung sempurnanya. Memandangi setiap jengkal senyumnya.
Tentu saja, bercakap-cakap dengan Yudis berarti aku harus memisahkan diri dari sahabat-sahabatku meski tidak berarti aku menyembunyikan pertemuan ini dari mereka. Di suatu siang saat menanti hujan reda, aku duduk bersama ketiga sahabatku. Saat itu, Siska membuka percakapan di antara kami.
“Akhir-akhir ini kamu kelihatan akrab sama si Yudis.”
Aku menahan nafas gugup. Aku sudah tau suatu hari mereka akan bertanya tentang hal ini. Tapi tetap saja, aku belum siap untuk menjawabnya.
“Ya. Memang sih. Tapi kita cuma temen aja, kok.” Aku menunduk memainkan ujung tali tas selempangku. Lalu aku pun mulai menceritakan awal mula percakapan Yudis dan aku. Aku tidak sepenuhnya jujur pada mereka. Aku tidak menyebutkan bahwa dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku juga tidak mengakui bahwa aku memiliki perasaan istimewa terhadap Yudis. Tak ada satu pun di antara mereka yang curiga. Mereka percaya saja dengan apa yang aku ceritakan.
Dalam hitungan detik setelah aku selesai dengan ceritaku, Siska berkata, “Sebetulnya ada yang Rani ingin ceritain ke kamu. Awalnya dia ragu-ragu, soalnya dia ngga yakin gimana perasaan kamu ke Yudis.” Siska menoleh ke arah Rani. “Ayo, Ran. Mendingan kamu ngomong langsung aja sama Vika. Barusan kan kamu udah denger cerita dia.”
Aku menoleh ke arah Rani, bertanya-tanya cerita apa yang ingin dia sampaikan. Aku takut dia mendengar hal buruk tentang Yudis dari orang lain dan kemudian melarang aku untuk terus berteman dengan Yudis. Tapi ternyata, masalahnya bukan itu.
“Aku suka sama Yudis, Vik,” ujar Rani tenang. “Aku seneng banget aku bakalan punya kesempatan untuk kenalan sama dia.”
Tenggorokanku tiba-tiba rasanya kering sekali. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku hanya memandang dengan tatapan kosong ke arah lapangan basket yang basah diguyur hujan.
“Kamu bisa ya bantuin aku,” kata Rani lagi. “Please. Aku suka banget sama dia. Dari kemaren-kemaren sebenernya aku udah pengen bilang.”
Aku menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan diri. Rani termasuk salah satu cewe populer di sekolah. Dengan kecantikan wajahnya dia bisa dengan mudah menunjuk salah satu cowo yang mengantri untuk jadi pacarnya. Tapi kenapa harus Yudis? Kenapa harus cowo yang sama yang juga aku suka? Sudah jelaslah kalau Yudis tau, dia akan lebih memilih Rani. Rasa sedih perlahan memasuki dadaku. Aku memejamkan mata berusaha mencerna kata-kata salah satu sahabatku itu.
“Vikaa.. Ih. Kamu denger ngga sih aku ngomong?”
“Iyaa. Aku denger,” jawabku lemas. “Kenapa sih kamu suka Yudis?” aku tidak tahan untuk tidak menanyakan itu.
“Entahlah. Aku juga ngga tau. Aku udah suka dia sejak pertama liat dia di pertemuan ekskul. Anaknya kayanya cool gitu. Ngga banyak ngomong. Ngga banyak tingkah. Aku jadi penasaran gitu deh.”
Yah. Jawaban yang sudah kuduga.
“Mau, ya, Vika. Kamu kenalin aku sama dia.”
Mau tidak mau aku pun mengangguk.